BAB
I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Indonesia adalah Negara kepulauan
terbesar di dunia dengan 17.504 pulau. Garis pantainya mencapai 95.181
kilometer persegi, terpanjang di dunia setelah Kanada, Amerika Serikat dan
Rusia. Enam puluh lima persen dari total 467 kabupaten/kota yang ada di
Indonesia berada di pesisir. Pada 2010 populasi penduduk Indonesia mencapai
lebih dari 237 juta orang, dimana lebih dari 80% hidup di kawasan pesisir. Ekosistem laut
di Indonesia mempunyai potensi besar untuk menyerap CO2 sebagai gas utama penyebab pemanasan
global yang berimplikasi pada terjadinya perubahan iklim. Salah satu sumber
daya laut yang cukup potensial untuk dapat dimanfaatkan sebagai penyerap gas CO2 adalah
padang lamun yang secara ekologis padang lamun mempunyai beberapa fungsi
penting di daerah pesisir karena padang lamun merupakan satu-satunya tumbuhan
berbunga yang ada di laut yang memiliki peran penting dalam penyerapan karbon
di laut juga melalui proses fotosintesis (Kawaroe 2005).
Luas
total padang lamun di Indonesia diperkirakan kini telah menyusut 30 sampai dengan 40 persen dari
luas keseluruhannya. Kerusakan ekosistem lamun antara lain, karena reklamasi
dan pembangunan fisik di garis pantai, pencemaran, penangkapan ikan dengan cara destruktif (bom, sianida, pukat
dasar), dan tangkap lebih (over-fishing)
(Nontji 2009). Di beberapa wilayah Indonesia tutupan lamun (seagrass coverage) dan distribusinya
telah mengalami perubahan dari waktu ke waktu, salah satunya di Perairan Teluk
Banten. Kerusakan dan hilangnya padang lamun di Teluk Banten mencapai sekitar
50 ha atau sekitar 35% dari seluruh luas padang lamun (Kiswara 1993). Kedudukan
Indonesia sebagai negara pantai, khususnya sebagai negara kepulauan,
berkewajiban untuk menetapkan batas terluar dari kawasan laut yang berada dalam
yuridiksi nasionalnya dan dituangkan dalam peta yang memadai sebagaimana
ditentukan dalam konvensi internasional di bidang hukum laut, dan mendepositnya
di lembaga depositnya di lembaga deposit sesuai ketentuan konvensi
internasional. Dengan telah terciptanya konvensi hukum laut PBB (United
Nations Convention On the Law of The Sea) 1982, maka perairan
yang berada dalam yuridiksi nasional Indonesia menjadi ± 5,8 juta km2 dari ± 3
juta km2 sebelumya. Dari luas
kawasan tersebut 0,4 juta km2 merupakan laut territorial Indonesia 2,8 juta km2 perairan kepulauan: zona ekonomi ekslusif
(termasuk zona tambahan) 2,6 juta km2. Disamping
itu Indonesia berhak atas landasan kontinennya berdasarkan kriteria-kriteria
dalam KHL 1982.
Sumberdaya ikan yang
hidup di wilayah perairan Indonesia dinilai memiliki tingkat keragaman hayati (bio-diversity) paling tinggi. Sumberdaya
tersebut paling tidak mencakup 37% dari spesies ikan di dunia (Kantor Menteri
Negara Lingkungan Hidup, 1994). Di wilayah
perairan laut Indonesia terdapat beberapa jenis ikan bernilai ekonomis
tinggi antara lain : tuna, cakalang, udang, tongkol, tenggiri, kakap, cumi-cumi,
ikan-ikan karang (kerapu, baronang, udang
barong/lobster), ikan hias dan kekerangan termasuk rumput laut (Barani, 2004).
Terdapat berbagai
kesenjangan yang masih mewarnai pembangunan perikanan di Indonesia baik secara
nasional maupun secara lokal administratif pengelolaan. Berbagai prasarana yang
dibangun oleh pemerintah, seperti pembangunan pelabuhan perikanan dan
tempat-tempat pendaratan ikan yang tersebar di berbagai wilayah belum
memberikan hasil yang memuaskan sesuai dengan yang diharapkan, berbagai model
pengaturan dan kebijakan yang diambil belum dapat menyentuh secara baik
terhadap permasalahan mendasar yang ada (Ali yahya, 2001).
1.2
Rumusan Masalah
Adapun rumusan masalah pada penyusunan makalah ini yaitu:
1.2.1
Pembagian wilayah
perairan laut Indonesia!
1.2.2
Bagaimana Potensi
Kelautan dan Perikanan Indonesia?
1.2.3
Bagaimana kondisi
perairan laut Indonesia?
1.2.4
Apa permasalahan
Negara Indonesia dengan Negara tetangga malaysia sampai sekarang berujung tidak
selesai?
1.3
Tujuan
Adapun tujuan
dari pembuatan makalah ini yaitu:
1.3.1
Mengetahui pembagian
wilayah/zona perairan laut Indonesia
1.3.2
Mengetahui potensi
kelautan dan perikanan Indonesia
1.3.3
Mengetahui kondisi
perairan laut Indonesia
1.3.4
Mengetahui permasalahan
Negara Indonesia dengan Malaysia yang tidak berujung selesai.
1.4
Manfaat
Adapau manfaat
dari makalah yaitu:
1.4.1
Supaya antar wilayah
tidak terjadi perebutan antar wilayah
1.4.2
Supaya ekosistem
laut Indonesia bisa terjaga
1.4.3
Supaya laut dan
perairan indinesia jauh dari ancaman
1.4.4
Supaya tidak ada
kesalah pahaman masyarakat Indonesia, kenapa sampai sekarang selat yang diperebutkan
Negara Indonesia dan Malaisya tidak kunjung selesai.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Pembagian
wilayah laut Indonesia
Dalam UNCLOS 1982
disebutkan adanya 6 (enam) wilayah laut yang diakui dan ditentukan dari suatu
garis pangkal namun di Negara Indonesia terdapat 3(tiga) pembagian wilayah/
zona laut yaitu:
1. Laut
Teritorial (Territorial Sea)
Dalam
pasal 3 UNCLOS 1982 disebutkan bahwa negara setiap negara pantai berhak
menetapkan lebar Laut Teritorialnya
hingga suatu batas yang tidak boleh melebihi 12 mil laut, diukur dari garis
pangkal yang telah ditentukan. Dalam wilayah Laut Teritorial, negara mempunyai
kedaulatan penuh, kecuali hak lintas damai bagi kapal-kapal niaga dan
kapal-kapal perang asing (pasal 17 UNCLOS 1982). Semua kapal-kapal asing yang
melintasi Laut Teritorial suatu negara wajib mematuhi semua peraturan dan
undang-undang dari negara terkait dan juga peraturan-peraturan internasional
yang terkait dengan pencegahan tabrakan di
laut (pasal 21 UNCLOS 1982).
2. Zona
Ekonomi Eksklusif atau ZEE (Exclusive
Economical Zone)
Pada kawasan ini suatu negara pantai mempunyai hak
eksklusif untuk melakukan eksplorasi dan eksploitasi, pelestarian dan
pengelolaan sumber daya alam (hayati
dan non-hayati) di dasar, di bawah, dan di atas, serta kegiatan lain seperti
produksi energi dari air, arus, dan angin. Namun demikian, semua negara lain
dapat menikmati kebebasan pelayaran dan penerbangan, serta kebebasan meletakkan
kabel dan pipa bawah laut, dengan memperhatikan hak dan kewajiban negara pantai serta harus mentaati
peraturan yang ditetapkan oleh negara pantai. Lebar Zona Ekonomi Eksklusif
(ZEE) tidak boleh melebihi 200 mil laut
dari garis pangkal yang digunakan untuk mengukur Laut Teritorial. Pengaturannya terdapat dalam UNCLOS 1982 pasal
55 sampai dengan pasal 75.
3. Landas
Kontinen (Continental Shelf)
Landas
Kontinen suatu negara pantai meliputi suatu kawasan dasar laut dan tanah di
bawahnya dari daerah di bawah permukaan laut yang terletak di luar Laut Teritorial, sepanjang kelanjutan alamiah
daratan hingga pinggiran luar tepi kontinen atau hingga suatu jarak 200 mil
laut dari garis pangkal, dalam hal ini tepian kontinen tidak mencapai jarak
tersebut. Jika jarak tepian kontinen lebih dari 200 mil laut, maka penetapan
pinggiran luar kontinen dilakukan dengan
cara:
1. Menghubungkan
titik-titik tetap terluar dimana ketebalan batu endapan paling sedikit 1 % dari jarak terdekat antara titik-titik tersebut dan kaki lereng kontinen (titik
perubahan maksimum) atau
2. Suatu
garis lurus yang ditarik dari titik-titik tetap yang terletak tidak lebih dari
60 mil laut dari kaki lereng kontinen.
Namun
demikian, garis batas terluar tidak boleh melebihi 350 mil laut atau 100 mil
laut dari garis kedalaman (isobath)
2500 m, kecuali untuk elevasi dasar laut yang merupakan bagian alamiah tepian
kontinen. Terkait dengan Landas Kontinen, telah diatur dalam UNCLOS 1982 pasal
76 hingga pasal 85.
Gambar
2.1 Pembagian
wilayah laut berdasarkan UNCLOS 1982 (Djunarsjah,
2007)
Berdasarkan konvensi hukum
laut (United Nations Convention on the
Law of the Sea/UNCLOS), perairan dibagi dalam beberapa zona seperti gambar
di bawah.
Gambar
2.2 pembagian
zona perairan laut
2.2
Potensi
Kelautan dan Perikanan Indonesia
Indonesia berada di posisi 94o 40'
BT – 141o BT dan 6o LU – 11o LS, terletak di antara Samudera
Pasifik dan Samudera Hindia; dan antara Benua Asia dan Benua Australia, serta
terletak di atas tiga lempeng aktif yaitu
lempeng Indo Australia,
Eurasia, dan Pasifik.
Sebagai negara kepulauan terbesar di dunia, Indonesia memiliki sekitar
17.508 pulau, dan garis pantai sepanjang 81.290 km, yang disatukan oleh laut
seluas 5,8 juta km2, dengan wilayah daratan seluas 1.860.359,67 km2. Luas laut
Indonesia dapat dirinci sebagai berikut :
No
|
Perairan
|
Luas (km2)
|
1
|
Perairan Kepulauan/Laut Nusantara
|
2,3 juta
|
2
|
Perairan Territorial
|
0,8 juta
|
3
|
Perairan ZEE Indonesia
|
2,7 juta
|
|
Jumlah
|
5.8 juta
|
Sebagai negara kepulauan, Indonesia memliki hak
terhadap sumber daya alam laut. Pemanfaatan sumber daya alam berdasarkan
konvensi hukum laut (UNCLOS) 1982 seperti berikut.
Tabel
2.1 Pemanfaatan
Sumber Daya Alam Berdasarkan Konvensi Hukum Laut (Unclos) 1982
No
|
Bagian Laut
|
Status Hukum
|
Pemanfaatan Sumber Daya Alam
|
Hak
|
Kewajban
|
1.
|
Perairan pedalaman
|
Kedaulatan
|
Pemanfaatan penuh
|
Konservasi
|
2.
|
Perairan kepulauan
|
Kedaulatan
|
Pemanfaatan penuh
|
-Konservasi
|
-Mengakui hak perikanan tradisional negara tetangga
|
3.
|
Laut territorial
|
Kedaulatan
|
Pemanfaatan penuh
|
Konservasi
|
4.
|
Zona tambahan
|
Yurisdiksi terbatas
|
Pengawasan (sepanjang berkaitan)
|
|
5.
|
Zona Ekonomi Ekslusif
|
- Hak-hak berdaulat
|
Pemanfaatan ekslusif
|
Konservasi memberi kesempatan negara lain terhadap surplus
perikanan
|
- Yuridikasi
|
6.
|
Laut lepas
|
Kebebasan
|
Kebebasan
|
- Konservasi
|
- Menghormati hak orang lain
|
7.
|
Landas Kontingen
|
Hak-hak berdaulat
|
Pemanfaatan ekslusif
|
Memberi sumbangan dari hasil produksi LK di luar 200 mil
|
8.
|
Kawasan dasar laut internasional
|
Warisan bersama umat
|
Pemanfaatan bersama
|
|
Sumber : Sumber Daya Alam dan Lingkungan Hidup,
BAPPENAS, 2004
Potensi sumberdaya kelautan terdiri atas:
1. Sumber
daya dapat pulih (ikan dan biota lainnya, terumbu karang, hutan mangrove,
pulau-pulau kecil).
2. Sumber
daya tidak dapat pulih (minyak dan gas, bahan tambang dan mineral).
3. Energi
kelautan (gelombang, pasang surut, Ocean
Thermal Energy Conversion, angin).
4. Jasa
lingkungan (media transportasi, komunikasi, iklim, keindahan alam, penyerap
limbah).
Indonesia memiliki potensi sumber daya perikanan
yang sangat besar baik dari segi kuantitas maupun keanekaragamannya. Potensi
lestari (maximum sustainable yield/MSY) sumber daya perikanan tangkap diperkirakan
sebesar 6,4 juta ton per tahun. Sedangkan potensi yang dapat dimanfaatkan (allowable catch) sebesar 80% dari MSY
yaitu 5,12 juta ton per tahun. Namun
demikian, telah terjadi ketidakseimbangan tingkat pemanfaatan sumber daya
perikanan antar kawasan dan antar jenis sumber daya. Di sebagian wilayah telah
terjadi gejala tangkap lebih (over
fishing) seperti di Laut Jawa dan Selat Malaka, sedangkan di sebagian besar
wilayah timur tingkat pemanfaatannya masih di bawah potensi lestari.
Sumber : Departemen Kelautan dan Perikanan,2002
Gambar 2.3 Pembagian Wilayah Pengelolaan Perikanan, dimana :
(1)
WPP Selat Malaka;
(2)
WPP Laut Cina Selatan;
(3)
WPP Laut Jawa
(4)
WPP Selat
Makasar dan Laut Flores;
(5)
WPP
Laut Banda;
(6)
WPP
Laut Arafura;
(7)
WPP
Laut Seram dan Teluk Tomini;
(8)
WPP
Laut Sulawesi;
(9)
WPP
Samudra Indonesia.
2.3
Kondisi Perairan Laut Indonesia
Kepulauan
Indonesia terbentang antara samudra Hindia dan Samudra pasifik. Terumbu karang
di Indonesia mencapai
50.875 kilometer persegi, atau sekitar 18% dari total kawasan terumbu
karang dunia. Sebagian besar terumbu karang ini berlokasi di bagian timur Indonesia, di wilayah yang lazim disebut segitiga karang (coral triangle) (Wilkinson, C. 2008). Terumbu karang Indonesia di kawasan segitiga karang adalah salah satu yang
terkaya dalam keanekaragaman hayati di dunia, rumah bagi sekitar 590 spesies
karang keras Terumbu di
Kepulauan Raja Ampat
diakui para ilmuwan sebagai “pusat”
keanekaragaman hayati terumbu karang dunia (Veron, J. E. N. 2002). Selain membawa keuntungan ekonomi, ekosis- tem
terumbu karang melindungi pantai dari hantaman gelombang, sehingga mengurangi
abrasi dan kerusakan. Terumbu karang
juga berkontribusi kepada sektor penangkapan ikan dengan menyediakan daerah pemijahan
dan asuhan, penyediaan makanan dan tempat berlindung beragam jenis mahluk
laut. Indonesia mempunyai sebaran ekosistem mangrove yang luas,
bahkan terbesar di dunia (FAO, 2007).
Menurut Spalding et al.
pada 2010 diperkirakan luas
mangrove di Indonesia sekitar 3,189,359 hektar,
hampir mencapai 60% luas total mangrove Asia Tenggara. Jumlah ini juga merupakan 20%
dari total tutupan mangrove yang ada di dunia.
Menurut FAO, ada
48 spesies mangrove di Indonesia, membuat Indonesia menjadi pusat penting
keanekaraga- man hayati mangrove
dunia. Ekosistem padang lamun Indonesia diperkira- kan sebesar
30,000 km2,dimana terdapat 30 dari 60 spesies
padang lamun yang ada di dunia
Meski pemerintah telah berinisiatif untuk mem- impin upaya
konservasi, sebagian besar
ekosis- tem laut Indonesia yang luas ini masih berada dalam ancaman. Menurut World
Resources Institute, pada 2011
ada 139.000 kilometer persegi kawasan
wilayah laut yang dilindungi di Indonesia (Burke et al. 2012). Pemerintah berkomitmen meningkatkannya menjadi
200.000 kilometer persegi pada 2020 (Burke et al. 2012). Tetapi pengelolaan kekayaan sumberdaya
hayati pesisir dan kawasan terlindungi ini masih menjadi tantangan berat. Data terbaru
(2012) Pusat Penelitian Oseano-grafi LIPI mengungkap hanya 5,3%
terumbu karang Indonesia yang tergolong
sangat baik. Sementara 27,18%-nya digolongkan dalam kondisi baik, 37,25% dalam
kondisi cukup, dan 30,45% berada
dalam kondisi buruk (http://www.coremap.or.id/Kondisi-TK/ (accessed 18 Desember 2015). Bahkan,
Burke, dkk. menyebutkan setengah abad terakhir ini degradasi terumbu karang di
Indonesia meningkat dari
10% menjadi 50% (Burke, Selig and Spalding,
2002). Penyebab kerusakan terumbu
karang diantara- nya adalah
pembangunan di kawasan pesisir, pembuangan limbah dari berbagai aktivitas
di darat maupun di laut,
sedimentasi akibat rusaknya wilayah hulu
dan daerah aliran
sungai, pertambangan, penangkapan ikan merusak yang menggunakan sianida
dan alat tangkap terlarang, pemutihan karang
akibat perubahan iklim, serta
penambangan terumbu karang. Indonesia sudah kehilangan sebagian besar mangrovenya. Dari 1982 hingga
2000, Indonesia telah kehilangan
lebih dari setengah hutan mangrove, dari 4,2 juta hektar hingga 2 juta hektar
(http://news.mongabay.com/2015/1201 hance_nasa_mangroves.html).
Masalah yang dihadapi oleh
terumbu karang dan mangrove juga dialami ekosistem padang lamun. Ekosistem
padang lamun Indonesia kurang dipelajari dibanding terumbu karang dan mangrove.
Tetapi berdasar berbagai indikasi,
padang lamun juga rentan terhadap gangguan alam dan kegiatan manusia. Seperti
pengerukan terkait pembangunan real estate pinggir laut, pelabuhan, industri,
saluran navigasi, limbah industri
terutama logam berat dan senyawa organolokrin, pembuangan
limbah organik, limbah pertanian, pencemaran minyak, dan perusakan habitat
di lokasi pembuangan hasil pengerukan (Dietrich G Bengen, 2004)
Ancaman lain Pertambangan dan sedimentasi
membawa dampak buruk signifikan terhadap ekosistem
laut di Indonesia. Contohnya, sedimentasi perairan pantai dan terumbu karang tepi
di Kabupaten Buyat-Ratototok Sulawesi Utara, yang dipengaruhi oleh pembuangan
tailing bawah laut dari pertambangan emas industri dan skala kecil yang
menggunakan pengga-bungan merkuri (Blackwood,
G.M. and E.N. Edinger. 2007). Sebuah studi di
Sampela, yang berada dalam Taman Nasional
Kepulauan Wakatobi, Sulawesi, mengungkap
peningkatan sedimentasi dan turunnya tingkat penetrasi cahaya telah mengubah
tingkat pertumbuhan dan morfologi karang Acropora. Komunitas karang sangat terpengaruh oleh
sedimentasi, yang dapat menyebabkan
matinya karang, penurunan
pertumbuhan serta tingkat klasifikasi akibat menurunnya penetrasi cahaya (Crabbe, M. J. and D.J. Smith. 2002). Ekstraksi sumberdaya tak terbarukan yang tidak
telah menyebabkan konflik antara perlindungan lingkungan dan pertumbuhan
ekonomi. Industri minyak
dan gas serta
pertambangan meningkat dalam 10 tahun terakhir (N.Miyazaki. 2012. Salah
satu contoh paling mengerikan adalah pembuangan tailing oleh Freeport
McMoRan di tambang
emas-perak-tembaganya di Papua Barat. Pembuangan limbah tailing mengalir ke
Sungai Otomina dan Ajkwa, menuju ke Laut Arafura. Tambang ini memproduksi dan mem- buang lebih dari 200.000 ton
tailing per hari, lebih dari 80 juta ton per tahun (Mining, Minerals, and
Sustainable Development. 2002). Diperkirakan, tambang ini telah
memproduksi lebih dari tiga miliar ton tailing, sebagian besar berakhir di
lautan (Walhi –
Indonesian Forum for Environment. 2006).
2.4
Permasalahan Negara Indonesia dengan Negara tetangga Malaysia sampai sekarang berujung tidak selesai
Mengenai penyelesaian masalah yang
terjadi diantara Indonesia dan Malaysia di perairan Selat Malaka tersebut
seharusnya dapat menggunakan ketentuan United Nation Convention on the Law
Of Sea 1982, yang selanjutnya disingkat ”UNCLOS”. Perlu
diketahui bahwa Indonesia dan Malaysia sama-sama telah meratifikasi atau
menjadi anggota UNCLOS. Indonesia bahkan telah meratifikasi UNCLOS dengan
adanya Undang-Undang Nomor 17 Tahun 1985 tentang pengesahan UNCLOS 1982,
sedangkan Malaysia melakukan ratifikasi pada tanggal 14 Oktober 1996 (United
Nations,2009). Negara Republik Indonesia maupun Negara Malayasia sama-sama
telah menandatangani UNCLOS maka kedua negara ini harus mengacu pada
ketentuan-ketentuan yang terdapat dalam UNCLOS untuk mencari pemecahan solusi
diantara kedua negara tersebut. Sebagaimana disebutkan dalam pasal 14 Konvensi
Wina 1969 tentang Perjanjian Internasional bahwa Ratifikasi adalah salah satu
cara untuk mengikatkan diri pada suatu perjanjian. Di dalam Ketentuan UNCLOS
dalam pasal 74 mengenai penetapan batas ZEE antara negara yang pantainya
berhadapan atau berdampingan menyatakan
bahwa mewajibkan dicapainya ”pemecahan solusi secara adil” atau ”equitable
solution” bagi negara-negara yang bermasalah, ini
dikarenakan klaim masing-masing negara tidak akan pernah menemukan titik temu.
Indonesia dan Malaysia merupakan suatu
negara yang merdeka dan berdaulat, mempunyai hak berdaulat yaitu hak yang
dimiliki oleh suatu negara dalam melaksanakan yurisdiksi eksklusif di
wilayahnya. Menyinggung masalah batas wilayah negara tidak lepas dari wilayah
negara lain dapat berupa wilayah daratan maupun batas wilayah laut. Batas
wilayah daratan dapat ditandai dengan tanda-tanda tertentu misalnya berupa
patok dan lainnya. Mengenai batas wilayah yang berupa laut kadangkala masih
rawan terjadi sengketa. Batas wilayah
laut berdasarkan Konvensi Perserikatan Bangsa Bangsa tentang Hukum Laut
yang diterima Konferensi Hukum Laut III pada 1982, dihadiri 160 negara, laut
dibedakan menjadi: laut lepas; landas kontinen, zona tambahan; Zona Ekonomi
Eksklusif,laut teritorial dan selat yang digunakan untuk pelayaran
internasional. Laut lepas menurut pasal 86 UNCLOS adalah semua bagian dari laut
yang tidak termasuk dalam zona ekonomi eksklusif, laut teritorial, perairan
pedalaman suatu negara, atau dalam perairan kepulauan suatu negara kepulauan.
Dengan demikian ketentuan ini menunjukan bahwa zona ekonomi eksklusif tidak
termasuk dalam rezim laut lepas. Zona tambahan adalah air membentang dari tepi
luar laut teritorial hingga 24 mil laut (44 km) dari baseline, di mana negara
bisa menggunakan kontrol terbatas untuk tujuan mencegah atau menghukum
"pelanggaran bea cukai, fiskal, imigrasi atau saniter hukum dan peraturan
dalam wilayah atau teritorial laut ". Laut teritorial, di mana setiap
negara mempunyai hak untuk menetapkan lebar laut teritorialnya sampai suatu
batas yang tidak melebihi 12 mil laut, diukur dari garis pangkal sebagaimana
telah diatur didalam UNCLOS pasal 3.
Mengenai lebar laut teritorial atau laut
wilayah ini baik Indonesia maupun Malaysia sama-sama tidak mempermasalahkan,
karena yang menjadi permasalahan sampai sekarang ini hanyalah mengenai lebar
ZEE. Hal ini dikarenakan karena sampai sekarang ini belum pernah dibuat
perjanjian di antara kedua negara ini mengenai batas ZEE masing-masing sebagai
negara yang pantainya berhadapan atau berdampingan. Indonesia dan Malaysia
hanya pernah membuat perjanjian mengenai batas landasan kontinen pada tanggal
27 oktober 1969. Sedangkan sebagaimana yang di ketahui bahwa pengaturan
mengenai landasan kontinen dan ZEE adalah berbeda dan tidak dapat disamakan.
Dimana telah diatur dalam pasal 15 UNCLOS bahwa lebar laut teritorialnya
masing- masing negara dapat ditetapkan berdasarkan garis tengah (median line) kecuali terdapat alasan
historis (historic title) atau
keadaan khusus lainnya. Sedangkan pengaturan untuk wilayah ZEE bagi negara yang
pantainya berhadapan atau berdampingan tidak bisa memakai aturan yang sama
seperti pengaturan laut teritorial.
Di wilayah ZEE inilah antara Indonesia
dengan Malaysia mempermasalahkan mengenai penentuan batas wilayah, karena lebar
wilayah terutama di Selat Malaka antara kedua negara tersebut yang letaknya saling
berhadapan atau berdampingan lebar ZEE kurang dari 400 mil. Letak dan posisi
Selat Malaka di antara Pulau Sumatera dan Semenanjung Malaya yang membujur dari
utara ke selatan hingga Kepulauan Riau dan membelok ke Timur. Selat Malaka
panjangnya kurang lebih dari 900 mil laut, dengan lebar rata-rata 8,3 mil laut
dimana tempat tersempit terletak di Pulau Karimun Kecil (Indonesia) dan Pulau
Kutub (Malaysia) yang lebarnya hanya 8,4 mil
laut
Gambar
2.4
Letak selat malaka.
Selat Malaka ditinjau dari segi ekonomi dan
strategis, merupakan salah satu jalur pelayaran terpenting di dunia, sama
pentingnya seperti Terusan Suez atau Terusan Panama. Batas ZEE dengan Malaysia
di Selat Malaka sampai saat ini belum pernah dirundingkan dan diperjanjikan
sehingga Indonesia menganggap masih
bermasalah dan mendesak Malaysia untuk segera diselesaikan. Selama ini Malaysia
menganggap perjanjian batas landas kontinen dengan Indonesia tahun 1969
sekaligus juga batas ZEE (single maritime boundaries). Pendapat Malaysia ini ,
telah melanggar prinsip dan ketentuan dalam konvensi UNCLOS’82 karena rejim
hukum dan ketentuan dalam ZEE pada pasal 55, 56 dan 57 berbeda dengan rejim hukum dan ketentuan landas
kontinen pada pasal 76 , sehingga dengan adanya pendapat Malaysia di atas
bangsa Indonesia akan dirugikan baik dari segi politik, ekonomi dan hankam.
Indonesia dengan Malaysia telah menyepakati penetapan garis batas landas
kontinen terletak di perairan Selat Malaka pada tanggal 27 Oktober 1969,
perjanjian ini menyetujui penetapan 25 titik yang terdiri dari 10 titik
koordinat di Selat Malaka dan 15 titik koordinat di perairan Laut China Selatan
(pantai Timur Malaka). Penetapan titik-titik koordinat ini secara teknis
menggunakan ketentuan-ketentuan yang ada pada konferensi PBB I tahun 1958.
Malaysia secara sepihak menganggap bahwa perjanjian batas landas kontinen yang
ada berlaku juga untuk pengaturan garis batas ZEE, sedangkan Indonesia
menganggap bahwa pengaturan tentang batas ZEE kedua negara belum pernah dirundingkan
sehingga belum ada kejelasannya. Ketentuan di dalam UNCLOS’82 juga menyatakan
bahwa landas kontinen tidak sama dengan ZEE oleh karena itu di perlukan
pengaturan yang berbeda untuk mengatur wilayah
ini.
Indonesia maupun Malaysia
mempermasalahkan Selat Malaka sebagai wilayah ZEE karena kedua negara mempunyai
hak berdaulat meskipun terbatas jika dibandingkan dengan laut teritorial yaitu
kedaulatan penuh, sedangkan di wilayah ZEE kedaulatan negara hanya hak
berdaulat. Sebagaimana ditentukan dalam pasal 56 UNCLOS bahwa dalam ZEE,
negara pantai mempunyai keperluan eksplorasi dan
eksploitasi, konservasi dan pengelolaan sumber
kekayaan alam, baik hayati maupun non-hayati, dari perairan di atas
dasar laut dan dari dasar laut dan tanah
di bawahnya dan berkenaan dengan kegiatan lain untuk keperluan eksplorasi dan
eksploitasi zona ekonomi tersebut, seperti
produksi energi dari air, arus dan angin
Langkah penyelesaian secara damai
dirasa paling tepat dengan merujuk pengalaman penyelesaian konflik Terusan Suez.
Penyelesaian secara damai apabila tidak membawa hasil, penyelesaian ini dapat
dilakukan dengan cara di luar pengadilan atau non litigasi, yaitu dapat dengan
negosiasi, mediasi atau arbitrase. Apabila penyelesaian secara non litigasi
juga tidak membawa hasil, penyelesaian berikutnya yaitu penyelesaian sengketa
internasional menurut hukum. Penyelesaian sengketa menurut hukum ini dapat
ditempuh apabila para pihak menginginkan adanya suatu keputusan yang mengikat bagi para pihak yang bersangkutan.
Penyelesaian sengketa ini berdasarkan pada ketentuan pasal 287 UNCLOS yaitu:
a.
Mahkamah Internasional (The
Internasional Court of Justice);
b.
Mahkamah Internasional untuk Hukum laut
( The Internasional Tribunal for the law of the sea) sebagai Mahkamah tetap;
c.
Mahkamah Arbitrasi sebagai Mahkamah ad
hoc (ad hoc Tribunal); Mahkamah Arbitrasi khusus.
Dalam penyelesaian sengketa
penetapan batas ini lebih tepat mengajukan penyelesaian ke Mahkamah
Inmternasional untuk hukum laut atau ITLOS.
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Adapun kesimpulan yang dapat
saya ambil dari pembahasan diatas yaitu:
3.1.1
Pembagian
wilayah/zona perairan laut Indonesia ada 3(tiga) bagian, yaitu Laut
Teritorial (Territorial Sea), Zona Ekonomi Eksklusif atau ZEE
(Exclusive Economical Zone) dan Landas
Kontinen (Continental Shelf)
3.1.2
Prospek pembangunan perikanan dan kelautan
Indonesia sangat cerah dan menjadi salah
satu kegiatan ekonomi yang strategis karena Bangsa Indonesia terdiri atas
17.502 buah pulau, dan garis pantai sepanjang 81.000 km dengan Luas wilayah
perikanan di laut sekitar 5,8 juta Km2, yang terdiri dari perairan kepulauan
dan teritorial seluas 3,1 juta Km2 serta perairan Zona Ekonomi Eksklusif
Indonesia (ZEEI) seluas 2,7 juta Km2.
3.1.3
Pertambangan dan sedimentasi
membawa dampak buruk signifikan terhadap ekosistem
laut di Indonesia. Contohnya, sedimentasi perairan pantai dan terumbu karang
tepi di Kabupaten Buyat-Ratototok Sulawesi Utara, yang dipengaruhi oleh
pembuangan tailing bawah laut dari pertambangan emas industri dan skala kecil
yang menggunakan pengga-bungan merkuri
(Blackwood, G.M. and E.N. Edinger. 2007). Meski pemerintah telah berinisiatif untuk
mem- impin upaya konservasi, sebagian besar ekosis- tem laut Indonesia yang luas ini
masih berada dalam ancaman. Menurut World Resources Institute, pada 2011 ada
139.000 kilometer persegi
kawasan wilayah laut yang
dilindungi di Indonesia (Burke et al. 2012). Pemerintah berkomitmen meningkatkannya menjadi 200.000 kilometer persegi pada 2020 (Burke et al. 2012). Tetapi pengelolaan kekayaan sumberdaya
hayati pesisir dan kawasan terlindungi ini masih menjadi tantangan berat.
3.2 Saran
Adapun saran saya yaitu sebaiknya
pemerintah lebih memperhatikan lagi kondisi perairan laut Indonesia sekarang
ini dengan menegakan hukum yang bisa menjerat para perusak ekosistem laut,
misalnya ekosistem mangrove, terumbu karan dan ekositem ikan karena perairan
laut Indonesia sekarang terancam ekosistem lautnya. Ketika hal ini dibiarkan
saja maka hilangnya kekayaan Indonesia yang sangat besar ini.
DAFTAR PUSTAKA
Ali yahya, muhamad. 2001. Perikanan
Tangkap Indonesia. [cited 2015 December 18]. Available at : http://tumoutou.net/3_sem1_012/ali_yahya.htm
Arifin,Z.,Puspitasi
and N.Miyazaki. 2012 Heavy metal contamination Indonesia coastal marine
ecosystems: A historical perpective. In Coastal Marine Science 35(1):227-233, 2012.
Barani, Husni Mangga. 2004. Pemikiran
Percepatan Pembangunan Perikanan Tagkap Melalui Gerakan Nasional [cited 2015
December 18]. Available at : http://tumoutou.net/702_07134/husni_mb.pdf
Blackwood, G.M. and E.N. Edinger. 2007.
Mineralogy and trace element relative solubility mining, Buyat-Ratototok district, North Sulawesi,
Indonesia. In Environ Geol (2007) 52:803-818 http://www.cs.mun.ca/~eedinger/STD/Blackwood_Edinger_2007_EnvGeol.pdf
Accessed December 18, 2015
Burke, Selig and Spalding, 2002. Reefs
at Risk in Southeast Asia. World Resources Institute
Crabbe,
M. J. and D.J. Smith. 2002. Comparison of two reef sites in the Wakatobi Marine
National Park (SE Sulawesi, Indonesia) using digital image analysis. In Coral
Reefs (2002) 21:242–244
Dietrich G Bengen,
2004. Ekosistem dan Sumberdaya Alam Pesisir dan Laut serta Prinsip
Pengelolaannya, Ecosystems and Marine and Coastal Resources and Their management principles, PKSPL-IPB, Bogor
Menteri Negara Lingkungan Hidup.
2004. Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup
no. 200 : Kriteria
baku kerusakan dan pedoman penentuan status padang lamun. Kementrian Negara
Lingkungan Hidup Republik
Mining, Minerals, and Sustainable Development. 2002.
Mining for the Future Appendix J: Grasberg Riverine Disposal Case Study.
International Institute for Environment and Development and World Business
Council for Sustainable Development
Nontji. A. 2009. Rehabilitasi Ekosistem Lamun dalam
Pengelolaan sumberdaya Pesisir. Lokakarya Nasional I Penelolaan ekosistem Lamun.
Jakarta, 18 November 2009.
Purwadhi, F.S.H. 2001. Interpretasi Citra Digital. PT
Grasindo.
Jakarta.
UNEP-IUCN-FAO, 2009.
Blue Carbon-The role of Healthy Oceans in Binding Carbon. Report
A new Rapid Response Assessment report released 14 October 2009 at the
Diversitas Conference, Cape Town
Conference Centre, South
Africa.
Veron, J. E. N.
2002. “Reef Corals of the Raja Ampat Islands, Papua Province, Indonesia, Part
I: Overview of Scleractinia.” In A Marine Rapid Assessment of the Raja Ampat
Islands, Papua Province, Indonesia, edited by S. A. McKenna, G. R. Allen and S.
Suryadi. Washington, DC: Conservation International
Walhi – Indonesian
Forum for Environment. 2006. The Environmental Impacts of Freeport-Rio Tinto’s Copper and Gold Mining Operation
in Papua. Walhi, Jakarta. 119 pp
Wilkinson, C. 2008. Status of Coral Reefs of the World: 2008. Townsville, Australia: Global Coral Reef Monitoring Network and Reef and
Rainforest Research Centre.