Sabtu, 15 Oktober 2016

Sosok seorang Guru





Guru adalah tenaga abdi artinya guru seorang profesinalisme dalam pendidikan. Guru juga diartikan sebagai orang yang mampu memberikan ilmu pendidikan kepada siswanya, bukan dilihat dari berhasil dan tidakanya pada siswa didik tetapi bagaimana Guru bisa memberikan motivasi anak didiknya agar penuh semangat dan siap menghadapi serta menyongsong perubahan hari esok.

Tugas seorang guru profesinalisme bukan hanya menjalankan prinsip –prinsip pembelajaran dengan baik tetapi Guru harus mampu menciptakan hal yang unik dalam pengelolan kelas yang baik sehingganya peserta didik tidak mudah bosan dengan proses yang ada. Profesi seorang guru tidaklah muda dimiliki setiap orang, hanya orng-orang pilihan yang bisa memilkinnya.


Guru selalu merencanakan apa yang terbaik kedepannya untuk anak didiknya, dengan tangan merekalah masadepan bangsa ini, yang melahirkan anak-anak dididk sebagai pahlawan yang nantinya akan mengisi ruang-ruang kosong dalam membangun bangsa. Pembangunan bangsa takan lepas dari figur pendidik yang telah melahirkan anak didik yang berperan aktif dalam pembangunan bangsa ini. Guru ideal bukan guru yang pintar,pandai atau pakar dalam bidang ilmu yang dimilikinya tapi dari semua itu guru sebagai “Agen Of Chang” Agen perubahan yang mampu memandang perubahan jauh ke depan

Kamis, 13 Oktober 2016

Jalur Sirkum di Indonesia







      *      Letak Indonesia
Indonesia merupakan Negara kepulauan yang berdasarkan posisi garis lintang dan garis bujur berada diantara 6o LU – 11o LS dan 95o BT – 141o BT. Pulau yang paling utara adalah Pulau Weh yang dilalui 6o LU, pulau paling selatan yaitu Pulau Roti, yang dilalui oleh garis lintang 11o LS. Selain dilalui oleh garis lintang 6o LU Pulau Weh juga dilalui oleh garis bujur 95o BT. Adapun garis bujur 141o BT melalui batas Irian Jaya dengan Negara Papua.
*      Letak Geografis

Secara geografis Indonesia terletak diantara dua samudera dan dua benua, yaitu Samudera Pasifik dan Samudera Hindia, serta Benua Asia dan Benua Australia.
*      Topografi dan Geologi

Topografi wilayah Indonesia sangat bervariasi, hal tersebut berpengaruh terhadap kehidupan masyarakatnya. Indonesia dilalui dua sirkum pegunungan dunia yaitu Sirkum Pasifik dan Sirkum Mediterania. Dimana pegunungan Sirkum Pasifik ialah pegunungan-pegunungan yang berada disekitar Samudera Pasifik (Lautan Teduh) mulai dari Pegunungan Andes di Amerika Selatan, pegunungan- pegunungan di Amerika Tengah, Rocky Mountains (Amerika Serikat), pegunungan-pegunungan di Kanada, Alaska, Kepulauan Aleut, Kepulauan Kuril, Jepang, Filipina, Irian dan Selandia Baru. Sedangkan Pegunungan Mediterania (Laut Tengah), terus ke Pegunungan-Pegunungan Kaukasus, Himalaya, Burma, Andaman, Nikobar, Sumatera, Jawa, Nusa Tenggara, sampai Kepulauan Banda. Kedua rangkaian pegunungan ini bertemu di Laut Banda.
Daerah pegunungan di Indonesia terdiri dari tiga barisan, yaitu ;
a)      Busur Indonesia Selatan atau Busur Sunda yaitu barisan pegunungan sepanjang Sumatera, Jawa, Bali, Nusa Tenggara, terakhir di bagian timur dan utara Laut Banda.
b)      Busur Indonesia Timur atau Busur Irian, yaitu sepanjang Irian dan bagian utara Maluku.
c)      Busur Indonesia Utara, tersebar di Sulawesi dan Kalimantan.
Indonesia bagian barat (Dataran Sunda) dan bagian timur topografinya lebih tinggi baik daratannya maupun lautannya. Namun bagian tengahnya merupakan laut dalam dan datarannya rendah (Nusa Tenggara, Sulawesi, dan Maluku), hal tersebut berpengaruh terhadap aktivitas penduduk dan bencana alam. Gempa dan gejala gunung api adalah gejala geologi yang berkaitan erat dengan pembentukan Kepulauan Nusantara. Rutten yang kemudian juga didukung oleh Van Gemmelen mengatakan bahwa asal pembentukan Kepulauan Nusantara, yang masih bisa ditelusuri dengan bukti-bukti dimulai dengan tenggelamnya Zone Anambas yang merupakan kontinen asal, dan diperkirakan terjadi pada 300 tahun yang lalu, pada kurun waktu geologi Devon. Tenggelamnya Zone Anambas tersebut mengakibatkan wilayah sebelah-menyebelahnya bergerak ke arah keseimbangan. Dalam waktu mencari keseimbangan itulah berturut-turut bagian-bagian dari  muka bumi ada yang timbul dan ada yang tenggelam secara perlahan-lahan dalam kurun waktu geologi masing-masing sampai pada bentuknya sekarang, landas kontinen telah mengalami 8 kali pembentukan daratan atau orogenesa.
Di bagian Indonesia timur, kejadiannya hamper sama dengan bagian barat. Kontinen asal bagian timur adalah yang oleh Van Gemmelen disebut “Central Banda Basin” atau yang kini dikenal dengan Laut Banda. Berbeda dengan bagian barat, pada “Banda Sistem” ini terdapat hanya 7 tahap, dibandingkan dengan 8 tahap yang terdapat pada “Sunda Sistem”. Atas perkembangan Geologi diatas dapat dengan singkat dikatakan bahwa Indonesia merupakan titik temu daripada tiga gerakan muka bumi, yaitu ;
o   Gerakan dari sistem Sunda Barat
o   Gerakan dari sistem pegunungan Asia Timur
o   Gerakan dari sistem Sirkum Australia

Kamis, 05 Mei 2016

Makalah Oseanografi

BAB I
PENDAHULUAN
1.1  Latar Belakang
Indonesia adalah Negara kepulauan terbesar di dunia dengan 17.504 pulau. Garis pantainya mencapai 95.181 kilometer persegi, terpanjang di dunia setelah Kanada, Amerika Serikat dan Rusia. Enam puluh lima persen dari total 467 kabupaten/kota yang ada di Indonesia berada di pesisir. Pada 2010 populasi penduduk Indonesia mencapai lebih dari 237 juta orang, dimana lebih dari 80% hidup di kawasan pesisir. Ekosistem laut di Indonesia mempunyai potensi besar untuk menyerap CO2 sebagai gas utama penyebab pemanasan global yang berimplikasi pada terjadinya perubahan iklim. Salah satu sumber daya laut yang cukup potensial untuk dapat dimanfaatkan sebagai penyerap gas CO2 adalah padang lamun yang secara ekologis padang lamun mempunyai beberapa fungsi penting di daerah pesisir karena padang lamun merupakan satu-satunya tumbuhan berbunga yang ada di laut yang memiliki peran penting dalam penyerapan karbon di laut juga melalui proses fotosintesis (Kawaroe 2005).
Luas total padang lamun di Indonesia diperkirakan kini telah menyusut 30 sampai dengan 40 persen dari luas keseluruhannya. Kerusakan ekosistem lamun antara lain, karena reklamasi dan pembangunan fisik di garis pantai, pencemaran, penangkapan ikan dengan cara destruktif (bom, sianida, pukat dasar), dan tangkap lebih (over-fishing) (Nontji 2009). Di beberapa wilayah Indonesia tutupan lamun (seagrass coverage) dan distribusinya telah mengalami perubahan dari waktu ke waktu, salah satunya di Perairan Teluk Banten. Kerusakan dan hilangnya padang lamun di Teluk Banten mencapai sekitar 50 ha atau sekitar 35% dari seluruh luas padang lamun (Kiswara 1993). Kedudukan Indonesia sebagai negara pantai, khususnya sebagai negara kepulauan, berkewajiban untuk menetapkan batas terluar dari kawasan laut yang berada dalam yuridiksi nasionalnya dan dituangkan dalam peta yang memadai sebagaimana ditentukan dalam konvensi internasional di bidang hukum laut, dan mendepositnya di lembaga depositnya di lembaga deposit sesuai ketentuan konvensi internasional. Dengan telah terciptanya konvensi hukum laut PBB (United Nations Convention On the Law of The Sea) 1982, maka perairan yang berada dalam yuridiksi nasional Indonesia menjadi ± 5,8 juta km2 dari ± 3 juta km2 sebelumya. Dari luas kawasan tersebut 0,4 juta km2 merupakan laut territorial Indonesia 2,8 juta km2 perairan kepulauan: zona ekonomi ekslusif (termasuk zona tambahan) 2,6 juta km2. Disamping itu Indonesia berhak atas landasan kontinennya berdasarkan kriteria-kriteria dalam KHL 1982.
Sumberdaya ikan yang hidup di wilayah perairan Indonesia dinilai memiliki tingkat keragaman hayati (bio-diversity) paling tinggi. Sumberdaya tersebut paling tidak mencakup 37% dari spesies ikan di dunia (Kantor Menteri Negara Lingkungan Hidup, 1994). Di wilayah  perairan laut Indonesia terdapat beberapa jenis ikan bernilai ekonomis tinggi antara lain : tuna, cakalang, udang, tongkol, tenggiri, kakap, cumi-cumi, ikan-ikan karang (kerapu, baronang,  udang barong/lobster), ikan hias dan kekerangan termasuk rumput laut (Barani, 2004).
Terdapat berbagai kesenjangan yang masih mewarnai pembangunan perikanan di Indonesia baik secara nasional maupun secara lokal administratif pengelolaan. Berbagai prasarana yang dibangun oleh pemerintah, seperti pembangunan pelabuhan perikanan dan tempat-tempat pendaratan ikan yang tersebar di berbagai wilayah belum memberikan hasil yang memuaskan sesuai dengan yang diharapkan, berbagai model pengaturan dan kebijakan yang diambil belum dapat menyentuh secara baik terhadap permasalahan mendasar yang ada (Ali yahya, 2001).
1.2   Rumusan Masalah
Adapun rumusan masalah pada penyusunan makalah ini yaitu:
1.2.1        Pembagian wilayah perairan laut Indonesia!
1.2.2        Bagaimana Potensi Kelautan dan Perikanan Indonesia?
1.2.3        Bagaimana kondisi perairan laut Indonesia?
1.2.4        Apa permasalahan Negara Indonesia dengan Negara tetangga malaysia sampai sekarang berujung tidak selesai?
1.3  Tujuan
Adapun tujuan dari pembuatan makalah ini yaitu:
1.3.1        Mengetahui pembagian wilayah/zona perairan laut Indonesia
1.3.2        Mengetahui potensi kelautan dan perikanan Indonesia
1.3.3        Mengetahui kondisi perairan laut Indonesia
1.3.4        Mengetahui  permasalahan Negara Indonesia dengan Malaysia yang tidak berujung selesai.
1.4  Manfaat
Adapau manfaat dari makalah yaitu:
1.4.1        Supaya antar wilayah tidak terjadi perebutan antar wilayah
1.4.2        Supaya ekosistem laut Indonesia bisa terjaga
1.4.3        Supaya laut dan perairan indinesia jauh dari ancaman
1.4.4        Supaya tidak ada kesalah pahaman masyarakat Indonesia, kenapa sampai sekarang selat yang diperebutkan Negara Indonesia dan Malaisya tidak kunjung selesai.


BAB II
PEMBAHASAN

2.1    Pembagian wilayah laut Indonesia
Dalam UNCLOS 1982 disebutkan adanya 6 (enam) wilayah laut yang diakui dan ditentukan dari suatu garis pangkal namun di Negara Indonesia terdapat 3(tiga) pembagian wilayah/ zona laut yaitu:
1.      Laut Teritorial (Territorial Sea)
Dalam pasal 3 UNCLOS 1982 disebutkan bahwa negara setiap negara pantai berhak menetapkan lebar Laut Teritorialnya hingga suatu batas yang tidak boleh melebihi 12 mil laut, diukur dari garis pangkal yang telah ditentukan. Dalam wilayah Laut Teritorial, negara mempunyai kedaulatan penuh, kecuali hak lintas damai bagi kapal-kapal niaga dan kapal-kapal perang asing (pasal 17 UNCLOS 1982). Semua kapal-kapal asing yang melintasi Laut Teritorial suatu  negara wajib mematuhi semua peraturan dan undang-undang dari negara terkait dan juga peraturan-peraturan internasional yang terkait dengan pencegahan tabrakan di  laut (pasal 21 UNCLOS 1982).
2.      Zona Ekonomi Eksklusif atau ZEE (Exclusive Economical Zone)
            Pada kawasan ini suatu negara pantai mempunyai hak eksklusif untuk melakukan eksplorasi dan eksploitasi, pelestarian dan pengelolaan sumber daya alam (hayati dan non-hayati) di dasar, di bawah, dan di atas, serta kegiatan lain seperti produksi energi dari air, arus, dan angin. Namun demikian, semua negara lain dapat menikmati kebebasan pelayaran dan penerbangan, serta kebebasan meletakkan kabel dan pipa bawah laut, dengan memperhatikan hak dan  kewajiban negara pantai serta harus mentaati peraturan yang ditetapkan oleh negara pantai. Lebar Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) tidak boleh melebihi 200  mil laut dari garis pangkal yang digunakan untuk mengukur Laut Teritorial. Pengaturannya terdapat dalam UNCLOS 1982 pasal 55 sampai dengan pasal 75.
3.      Landas Kontinen (Continental Shelf)
Landas Kontinen suatu negara pantai meliputi suatu kawasan dasar laut dan tanah di bawahnya dari daerah di bawah permukaan laut yang terletak di luar Laut Teritorial, sepanjang kelanjutan alamiah daratan hingga pinggiran luar tepi kontinen atau hingga suatu jarak 200 mil laut dari garis pangkal, dalam hal ini tepian kontinen tidak mencapai jarak tersebut. Jika jarak tepian kontinen lebih dari 200 mil laut, maka penetapan pinggiran luar kontinen dilakukan dengan  cara:
1. Menghubungkan titik-titik tetap terluar dimana ketebalan batu endapan paling sedikit 1 % dari         jarak terdekat antara titik-titik tersebut dan kaki lereng kontinen (titik perubahan maksimum) atau
2. Suatu garis lurus yang ditarik dari titik-titik tetap yang terletak tidak lebih dari 60 mil laut dari             kaki lereng kontinen.
Namun demikian, garis batas terluar tidak boleh melebihi 350 mil laut atau 100 mil laut dari garis kedalaman (isobath) 2500 m, kecuali untuk elevasi dasar laut yang merupakan bagian alamiah tepian kontinen. Terkait dengan Landas Kontinen, telah diatur dalam UNCLOS 1982 pasal 76 hingga pasal 85.

 
 
















          
Gambar 2.1 Pembagian wilayah laut berdasarkan UNCLOS 1982 (Djunarsjah, 2007)
Berdasarkan konvensi hukum laut (United Nations Convention on the Law of the Sea/UNCLOS), perairan dibagi dalam beberapa zona seperti gambar di bawah.

 
 










Gambar 2.2 pembagian zona perairan laut
2.2     Potensi Kelautan dan Perikanan Indonesia
Indonesia berada di posisi 94o 40' BT 141o BT dan 6o LU 11o LS, terletak di antara Samudera Pasifik dan Samudera Hindia; dan antara Benua Asia dan Benua Australia, serta terletak di atas tiga lempeng aktif yaitu  lempeng  Indo  Australia,  Eurasia,  dan  Pasifik.  Sebagai negara kepulauan terbesar di dunia, Indonesia memiliki sekitar 17.508 pulau, dan garis pantai sepanjang 81.290 km, yang disatukan oleh laut seluas 5,8 juta km2, dengan wilayah daratan seluas 1.860.359,67 km2. Luas laut Indonesia dapat dirinci sebagai berikut :
No
Perairan
Luas (km2)
1
Perairan Kepulauan/Laut Nusantara
2,3 juta
2
Perairan Territorial
0,8 juta
3
Perairan ZEE Indonesia
2,7 juta
Jumlah
5.8 juta

Sebagai negara kepulauan, Indonesia memliki hak terhadap sumber daya alam laut. Pemanfaatan sumber daya alam berdasarkan konvensi hukum laut (UNCLOS) 1982 seperti berikut.
Tabel 2.1 Pemanfaatan Sumber Daya Alam Berdasarkan Konvensi Hukum Laut (Unclos) 1982
No
Bagian Laut
Status Hukum
Pemanfaatan Sumber Daya Alam
Hak
Kewajban
1.
Perairan pedalaman
Kedaulatan
Pemanfaatan penuh
Konservasi
2.
Perairan kepulauan
Kedaulatan
Pemanfaatan penuh
-Konservasi
-Mengakui hak perikanan tradisional negara tetangga
3.
Laut territorial
Kedaulatan
Pemanfaatan penuh
Konservasi
4.
Zona tambahan
Yurisdiksi terbatas
Pengawasan (sepanjang berkaitan)
5.
Zona Ekonomi Ekslusif
-   Hak-hak berdaulat
Pemanfaatan ekslusif
Konservasi memberi kesempatan negara lain terhadap surplus perikanan
-   Yuridikasi
6.
Laut lepas
Kebebasan
Kebebasan
-   Konservasi
-   Menghormati hak orang lain
7.
Landas Kontingen
Hak-hak berdaulat
Pemanfaatan ekslusif
Memberi sumbangan dari hasil produksi LK di luar 200 mil
8.
Kawasan dasar laut internasional
Warisan bersama umat
Pemanfaatan bersama
Sumber : Sumber Daya Alam dan Lingkungan Hidup, BAPPENAS, 2004
Potensi sumberdaya kelautan terdiri atas:
1.      Sumber daya dapat pulih (ikan dan biota lainnya, terumbu karang, hutan mangrove, pulau-pulau kecil).
2.      Sumber daya tidak dapat pulih (minyak dan gas, bahan tambang dan mineral).
3.      Energi kelautan (gelombang, pasang surut, Ocean Thermal Energy Conversion, angin).
4.      Jasa lingkungan (media transportasi, komunikasi, iklim, keindahan alam, penyerap limbah).
Indonesia memiliki potensi sumber daya perikanan yang sangat besar baik dari segi kuantitas maupun keanekaragamannya. Potensi lestari (maximum sustainable yield/MSY)  sumber daya perikanan tangkap diperkirakan sebesar 6,4 juta ton per tahun. Sedangkan potensi yang dapat dimanfaatkan (allowable catch) sebesar 80% dari MSY yaitu 5,12 juta ton per tahun. Namun demikian, telah terjadi ketidakseimbangan tingkat pemanfaatan sumber daya perikanan antar kawasan dan antar jenis sumber daya. Di sebagian wilayah telah terjadi gejala tangkap lebih (over fishing) seperti di Laut Jawa dan Selat Malaka, sedangkan di sebagian besar wilayah timur tingkat pemanfaatannya masih di bawah potensi lestari.

 
Sumber : Departemen Kelautan dan Perikanan,2002
Gambar 2.3 Pembagian Wilayah Pengelolaan Perikanan, dimana :


(1)   WPP Selat Malaka;
(2)   WPP Laut Cina Selatan;
(3)   WPP Laut Jawa
(4)   WPP Selat Makasar dan Laut Flores;
(5)   WPP Laut Banda;
(6)   WPP Laut Arafura;
(7)   WPP Laut Seram dan Teluk Tomini;
(8)   WPP Laut Sulawesi;
(9)   WPP Samudra Indonesia. 
2.3         Kondisi Perairan Laut Indonesia
Kepulauan Indonesia terbentang antara samudra Hindia dan Samudra pasifik. Terumbu karang di Indonesia mencapai 50.875 kilometer persegi, atau sekitar 18% dari total kawasan terumbu karang dunia. Sebagian besar terumbu karang ini berlokasi di bagian timur Indonesia, di wilayah yang lazim disebut segitiga karang (coral triangle) (Wilkinson, C. 2008). Terumbu karang Indonesia di kawasan segitiga karang adalah salah satu yang terkaya dalam keanekaragaman hayati di dunia, rumah bagi sekitar 590 spesies karang keras Terumbu di Kepulauan  Raja  Ampat  diakui  para ilmuwan sebagai “pusat” keanekaragaman hayati terumbu karang dunia (Veron, J. E. N. 2002). Selain membawa keuntungan ekonomi, ekosis- tem terumbu karang melindungi pantai dari hantaman gelombang, sehingga mengurangi abrasi dan kerusakan. Terumbu karang juga berkontribusi kepada sektor penangkapan ikan dengan menyediakan daerah pemijahan dan asuhan, penyediaan makanan dan tempat berlindung beragam jenis mahluk laut. Indonesia mempunyai sebaran ekosistem mangrove yang luas, bahkan terbesar di dunia (FAO, 2007). Menurut Spalding et al. pada 2010 diperkirakan luas mangrove di Indonesia sekitar 3,189,359 hektar, hampir mencapai 60% luas total mangrove Asia Tenggara. Jumlah ini juga merupakan 20% dari total tutupan mangrove yang ada di dunia. Menurut FAO, ada 48 spesies mangrove di Indonesia, membuat Indonesia menjadi pusat penting keanekaraga- man hayati mangrove dunia. Ekosistem padang lamun Indonesia diperkira- kan sebesar 30,000 km2,dimana terdapat 30 dari 60 spesies padang lamun yang ada di dunia
Meski pemerintah telah berinisiatif untuk mem- impin upaya konservasi, sebagian besar ekosis- tem laut Indonesia yang luas ini masih berada dalam ancaman. Menurut World Resources Institute, pada 2011 ada 139.000 kilometer persegi kawasan wilayah laut yang dilindungi di Indonesia (Burke et al. 2012). Pemerintah berkomitmen meningkatkannya menjadi 200.000 kilometer persegi pada 2020 (Burke et al. 2012). Tetapi pengelolaan kekayaan sumberdaya hayati pesisir dan kawasan terlindungi ini masih menjadi tantangan berat. Data  terbaru  (2012)  Pusat  Penelitian  Oseano-grafi LIPI mengungkap hanya 5,3% terumbu karang Indonesia yang tergolong sangat baik. Sementara 27,18%-nya digolongkan dalam kondisi baik, 37,25% dalam kondisi cukup, dan 30,45% berada dalam kondisi buruk (http://www.coremap.or.id/Kondisi-TK/ (accessed 18 Desember 2015). Bahkan, Burke, dkk. menyebutkan setengah abad terakhir ini degradasi terumbu karang di Indonesia meningkat dari 10% menjadi 50% (Burke, Selig and Spalding, 2002). Penyebab kerusakan terumbu karang diantara- nya adalah pembangunan di kawasan pesisir, pembuangan limbah dari berbagai aktivitas di darat maupun di laut, sedimentasi akibat rusaknya wilayah hulu dan daerah aliran sungai, pertambangan, penangkapan ikan merusak yang menggunakan sianida dan alat tangkap terlarang, pemutihan karang akibat perubahan iklim, serta penambangan terumbu karang. Indonesia sudah kehilangan sebagian besar mangrovenya. Dari 1982 hingga 2000, Indonesia telah kehilangan lebih dari setengah hutan mangrove, dari 4,2 juta hektar hingga 2 juta hektar (http://news.mongabay.com/2015/1201  hance_nasa_mangroves.html).
Masalah yang dihadapi oleh terumbu karang dan mangrove juga dialami ekosistem padang lamun. Ekosistem padang lamun Indonesia kurang dipelajari dibanding terumbu karang dan mangrove. Tetapi berdasar berbagai indikasi, padang lamun juga rentan terhadap gangguan alam dan kegiatan manusia. Seperti pengerukan terkait pembangunan real estate pinggir laut, pelabuhan, industri, saluran navigasi, limbah industri terutama logam berat dan senyawa organolokrin, pembuangan limbah organik, limbah pertanian, pencemaran minyak, dan perusakan habitat di lokasi pembuangan hasil pengerukan (Dietrich G Bengen, 2004)
Ancaman lain Pertambangan dan sedimentasi membawa dampak buruk signifikan terhadap ekosistem laut di Indonesia. Contohnya, sedimentasi perairan pantai dan terumbu karang tepi di Kabupaten Buyat-Ratototok Sulawesi Utara, yang dipengaruhi oleh pembuangan tailing bawah laut dari pertambangan emas industri dan skala kecil yang menggunakan pengga-bungan merkuri (Blackwood, G.M. and E.N. Edinger. 2007). Sebuah studi di Sampela, yang berada dalam Taman Nasional Kepulauan Wakatobi, Sulawesi, mengungkap peningkatan sedimentasi dan turunnya tingkat penetrasi cahaya telah mengubah tingkat pertumbuhan dan morfologi karang Acropora. Komunitas karang sangat terpengaruh oleh sedimentasi, yang dapat menyebabkan  matinya  karang, penurunan pertumbuhan serta tingkat klasifikasi akibat menurunnya penetrasi cahaya (Crabbe, M. J. and D.J. Smith. 2002). Ekstraksi sumberdaya tak terbarukan yang tidak telah menyebabkan konflik antara perlindungan lingkungan dan pertumbuhan ekonomi. Industri minyak dan gas serta pertambangan meningkat dalam 10 tahun terakhir (N.Miyazaki. 2012. Salah satu contoh paling mengerikan adalah pembuangan tailing oleh Freeport McMoRan di tambang emas-perak-tembaganya di Papua Barat. Pembuangan limbah tailing mengalir ke Sungai Otomina dan Ajkwa, menuju ke Laut Arafura. Tambang ini memproduksi dan mem- buang lebih dari 200.000 ton tailing per hari, lebih dari 80 juta ton per tahun (Mining, Minerals, and Sustainable Development. 2002). Diperkirakan, tambang ini telah memproduksi lebih dari tiga miliar ton tailing, sebagian besar berakhir di lautan (Walhi – Indonesian Forum for Environment. 2006).

2.4  Permasalahan Negara Indonesia dengan Negara tetangga Malaysia   sampai sekarang berujung tidak selesai
Mengenai penyelesaian masalah yang terjadi diantara Indonesia dan Malaysia di perairan Selat Malaka tersebut seharusnya dapat menggunakan ketentuan United Nation Convention on the Law Of Sea 1982, yang selanjutnya disingkat ”UNCLOS”. Perlu diketahui bahwa Indonesia dan Malaysia sama-sama telah meratifikasi atau menjadi anggota UNCLOS. Indonesia bahkan telah meratifikasi UNCLOS dengan adanya Undang-Undang Nomor 17 Tahun 1985 tentang pengesahan UNCLOS 1982, sedangkan Malaysia melakukan ratifikasi pada tanggal 14 Oktober 1996 (United Nations,2009). Negara Republik Indonesia maupun Negara Malayasia sama-sama telah menandatangani UNCLOS maka kedua negara ini harus mengacu pada ketentuan-ketentuan yang terdapat dalam UNCLOS untuk mencari pemecahan solusi diantara kedua negara tersebut. Sebagaimana disebutkan dalam pasal 14 Konvensi Wina 1969 tentang Perjanjian Internasional bahwa Ratifikasi adalah salah satu cara untuk mengikatkan diri pada suatu perjanjian. Di dalam Ketentuan UNCLOS dalam pasal 74 mengenai penetapan batas ZEE antara negara yang pantainya berhadapan atau  berdampingan menyatakan bahwa mewajibkan dicapainya ”pemecahan solusi secara adil” atau ”equitable solution” bagi negara-negara yang bermasalah, ini dikarenakan klaim masing-masing negara tidak akan pernah menemukan titik temu.
Indonesia dan Malaysia merupakan suatu negara yang merdeka dan berdaulat, mempunyai hak berdaulat yaitu hak yang dimiliki oleh suatu negara dalam melaksanakan yurisdiksi eksklusif di wilayahnya. Menyinggung masalah batas wilayah negara tidak lepas dari wilayah negara lain dapat berupa wilayah daratan maupun batas wilayah laut. Batas wilayah daratan dapat ditandai dengan tanda-tanda tertentu misalnya berupa patok dan lainnya. Mengenai batas wilayah yang berupa laut kadangkala masih rawan terjadi sengketa. Batas wilayah  laut berdasarkan Konvensi Perserikatan Bangsa Bangsa tentang Hukum Laut yang diterima Konferensi Hukum Laut III pada 1982, dihadiri 160 negara, laut dibedakan menjadi: laut lepas; landas kontinen, zona tambahan; Zona Ekonomi Eksklusif,laut teritorial dan selat yang digunakan untuk pelayaran internasional. Laut lepas menurut pasal 86 UNCLOS adalah semua bagian dari laut yang tidak termasuk dalam zona ekonomi eksklusif, laut teritorial, perairan pedalaman suatu negara, atau dalam perairan kepulauan suatu negara kepulauan. Dengan demikian ketentuan ini menunjukan bahwa zona ekonomi eksklusif tidak termasuk dalam rezim laut lepas. Zona tambahan adalah air membentang dari tepi luar laut teritorial hingga 24 mil laut (44 km) dari baseline, di mana negara bisa menggunakan kontrol terbatas untuk tujuan mencegah atau menghukum "pelanggaran bea cukai, fiskal, imigrasi atau saniter hukum dan peraturan dalam wilayah atau teritorial laut ". Laut teritorial, di mana setiap negara mempunyai hak untuk menetapkan lebar laut teritorialnya sampai suatu batas yang tidak melebihi 12 mil laut, diukur dari garis pangkal sebagaimana telah diatur didalam UNCLOS pasal 3.
Mengenai lebar laut teritorial atau laut wilayah ini baik Indonesia maupun Malaysia sama-sama tidak mempermasalahkan, karena yang menjadi permasalahan sampai sekarang ini hanyalah mengenai lebar ZEE. Hal ini dikarenakan karena sampai sekarang ini belum pernah dibuat perjanjian di antara kedua negara ini mengenai batas ZEE masing-masing sebagai negara yang pantainya berhadapan atau berdampingan. Indonesia dan Malaysia hanya pernah membuat perjanjian mengenai batas landasan kontinen pada tanggal 27 oktober 1969. Sedangkan sebagaimana yang di ketahui bahwa pengaturan mengenai landasan kontinen dan ZEE adalah berbeda dan tidak dapat disamakan. Dimana telah diatur dalam pasal 15 UNCLOS bahwa lebar laut teritorialnya masing- masing negara dapat ditetapkan berdasarkan garis tengah (median line) kecuali terdapat alasan historis (historic title) atau keadaan khusus lainnya. Sedangkan pengaturan untuk wilayah ZEE bagi negara yang pantainya berhadapan atau berdampingan tidak bisa memakai aturan yang sama seperti pengaturan laut teritorial.
Di wilayah ZEE inilah antara Indonesia dengan Malaysia mempermasalahkan mengenai penentuan batas wilayah, karena lebar wilayah terutama di Selat Malaka antara kedua negara tersebut yang letaknya saling berhadapan atau berdampingan lebar ZEE kurang dari 400 mil. Letak dan posisi Selat Malaka di antara Pulau Sumatera dan Semenanjung Malaya yang membujur dari utara ke selatan hingga Kepulauan Riau dan membelok ke Timur. Selat Malaka panjangnya kurang lebih dari 900 mil laut, dengan lebar rata-rata 8,3 mil laut dimana tempat tersempit terletak di Pulau Karimun Kecil (Indonesia) dan Pulau Kutub (Malaysia) yang lebarnya hanya 8,4 mil laut




 
 
















Gambar 2.4 Letak selat malaka.

Selat Malaka ditinjau dari segi ekonomi dan strategis, merupakan salah satu jalur pelayaran terpenting di dunia, sama pentingnya seperti Terusan Suez atau Terusan Panama. Batas ZEE dengan Malaysia di Selat Malaka sampai saat ini belum pernah dirundingkan dan diperjanjikan sehingga Indonesia menganggap  masih bermasalah dan mendesak Malaysia untuk segera diselesaikan. Selama ini Malaysia menganggap perjanjian batas landas kontinen dengan Indonesia tahun 1969 sekaligus juga batas ZEE (single maritime boundaries). Pendapat Malaysia ini , telah melanggar prinsip dan ketentuan dalam konvensi UNCLOS’82 karena rejim hukum dan ketentuan dalam ZEE pada pasal 55, 56 dan 57 berbeda   dengan rejim hukum dan ketentuan landas kontinen pada pasal 76 , sehingga dengan adanya pendapat Malaysia di atas bangsa Indonesia akan dirugikan baik dari segi politik, ekonomi dan hankam. Indonesia dengan Malaysia telah menyepakati penetapan garis batas landas kontinen terletak di perairan Selat Malaka pada tanggal 27 Oktober 1969, perjanjian ini menyetujui penetapan 25 titik yang terdiri dari 10 titik koordinat di Selat Malaka dan 15 titik koordinat di perairan Laut China Selatan (pantai Timur Malaka). Penetapan titik-titik koordinat ini secara teknis menggunakan ketentuan-ketentuan yang ada pada konferensi PBB I tahun 1958. Malaysia secara sepihak menganggap bahwa perjanjian batas landas kontinen yang ada berlaku juga untuk pengaturan garis batas ZEE, sedangkan Indonesia menganggap bahwa pengaturan tentang batas ZEE kedua negara belum pernah dirundingkan sehingga belum ada kejelasannya. Ketentuan di dalam UNCLOS’82 juga menyatakan bahwa landas kontinen tidak sama dengan ZEE oleh karena itu di perlukan pengaturan yang berbeda untuk mengatur wilayah ini.
Indonesia maupun Malaysia mempermasalahkan Selat Malaka sebagai wilayah ZEE karena kedua negara mempunyai hak berdaulat meskipun terbatas jika dibandingkan dengan laut teritorial yaitu kedaulatan penuh, sedangkan di wilayah ZEE kedaulatan negara hanya hak berdaulat. Sebagaimana ditentukan dalam pasal 56 UNCLOS bahwa dalam ZEE, negara  pantai  mempunyai keperluan eksplorasi dan eksploitasi, konservasi dan pengelolaan sumber  kekayaan alam, baik hayati maupun non-hayati, dari perairan di atas dasar laut  dan dari dasar laut dan tanah di bawahnya dan berkenaan dengan kegiatan lain untuk keperluan eksplorasi dan eksploitasi zona ekonomi tersebut, seperti  produksi energi dari air, arus dan angin
Langkah penyelesaian secara damai dirasa paling tepat dengan merujuk pengalaman penyelesaian konflik Terusan Suez. Penyelesaian secara damai apabila tidak membawa hasil, penyelesaian ini dapat dilakukan dengan cara di luar pengadilan atau non litigasi, yaitu dapat dengan negosiasi, mediasi atau arbitrase. Apabila penyelesaian secara non litigasi juga tidak membawa hasil, penyelesaian berikutnya yaitu penyelesaian sengketa internasional menurut hukum. Penyelesaian sengketa menurut hukum ini dapat ditempuh apabila para pihak menginginkan adanya suatu keputusan yang  mengikat bagi para pihak yang bersangkutan. Penyelesaian sengketa ini berdasarkan pada ketentuan pasal 287 UNCLOS yaitu:
a.     Mahkamah Internasional (The Internasional Court of Justice);
b.    Mahkamah Internasional untuk Hukum laut ( The Internasional Tribunal for the law of the sea) sebagai Mahkamah tetap;
c.     Mahkamah Arbitrasi sebagai Mahkamah ad hoc (ad hoc Tribunal); Mahkamah Arbitrasi khusus.
Dalam penyelesaian sengketa penetapan batas ini lebih tepat mengajukan penyelesaian ke Mahkamah Inmternasional untuk hukum laut atau ITLOS.
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Adapun kesimpulan yang dapat saya ambil dari pembahasan diatas yaitu:
3.1.1        Pembagian wilayah/zona perairan laut Indonesia ada 3(tiga) bagian, yaitu Laut Teritorial (Territorial Sea), Zona Ekonomi Eksklusif atau ZEE (Exclusive Economical Zone) dan Landas Kontinen (Continental Shelf)
3.1.2        Prospek pembangunan perikanan dan kelautan Indonesia sangat cerah dan  menjadi salah satu kegiatan ekonomi yang strategis karena Bangsa Indonesia terdiri atas 17.502 buah pulau, dan garis pantai sepanjang 81.000 km dengan Luas wilayah perikanan di laut sekitar 5,8 juta Km2, yang terdiri dari perairan kepulauan dan teritorial seluas 3,1 juta Km2 serta perairan Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia (ZEEI) seluas 2,7 juta Km2.
3.1.3        Pertambangan dan sedimentasi membawa dampak buruk signifikan terhadap ekosistem laut di Indonesia. Contohnya, sedimentasi perairan pantai dan terumbu karang tepi di Kabupaten Buyat-Ratototok Sulawesi Utara, yang dipengaruhi oleh pembuangan tailing bawah laut dari pertambangan emas industri dan skala kecil yang menggunakan pengga-bungan merkuri (Blackwood, G.M. and E.N. Edinger. 2007). Meski pemerintah telah berinisiatif untuk mem- impin upaya konservasi, sebagian besar ekosis- tem laut Indonesia yang luas ini masih berada dalam ancaman. Menurut World Resources Institute, pada 2011 ada 139.000 kilometer persegi kawasan wilayah laut yang dilindungi di Indonesia (Burke et al. 2012). Pemerintah berkomitmen meningkatkannya menjadi 200.000 kilometer persegi pada 2020 (Burke et al. 2012). Tetapi pengelolaan kekayaan sumberdaya hayati pesisir dan kawasan terlindungi ini masih menjadi tantangan berat.
3.2 Saran
            Adapun saran saya yaitu sebaiknya pemerintah lebih memperhatikan lagi kondisi perairan laut Indonesia sekarang ini dengan menegakan hukum yang bisa menjerat para perusak ekosistem laut, misalnya ekosistem mangrove, terumbu karan dan ekositem ikan karena perairan laut Indonesia sekarang terancam ekosistem lautnya. Ketika hal ini dibiarkan saja maka hilangnya kekayaan Indonesia yang sangat besar ini.

DAFTAR PUSTAKA

Ali yahya, muhamad. 2001. Perikanan Tangkap Indonesia. [cited 2015 December 18]. Available at : http://tumoutou.net/3_sem1_012/ali_yahya.htm
Arifin,Z.,Puspitasi and N.Miyazaki. 2012 Heavy metal contamination Indonesia coastal marine ecosystems: A historical perpective. In Coastal Marine Science 35(1):227-233, 2012.
Barani, Husni Mangga. 2004. Pemikiran Percepatan Pembangunan Perikanan Tagkap Melalui Gerakan Nasional [cited 2015 December 18]. Available at        : http://tumoutou.net/702_07134/husni_mb.pdf
Blackwood, G.M. and E.N. Edinger. 2007. Mineralogy and trace element relative solubility mining, Buyat-Ratototok district, North Sulawesi, Indonesia. In Environ Geol (2007) 52:803-818  http://www.cs.mun.ca/~eedinger/STD/Blackwood_Edinger_2007_EnvGeol.pdf Accessed December 18, 2015
Burke, Selig and Spalding, 2002. Reefs at Risk in Southeast Asia. World Resources Institute
Crabbe, M. J. and D.J. Smith. 2002. Comparison of two reef sites in the Wakatobi Marine National Park (SE Sulawesi, Indonesia) using digital image analysis. In Coral Reefs (2002) 21:242–244
Dietrich G Bengen, 2004. Ekosistem dan Sumberdaya Alam Pesisir dan Laut serta Prinsip Pengelolaannya, Ecosystems and Marine and Coastal Resources and Their management principles, PKSPL-IPB, Bogor
Menteri Negara Lingkungan Hidup. 2004. Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup no. 200 : Kriteria baku kerusakan dan pedoman penentuan status padang lamun. Kementrian Negara Lingkungan Hidup Republik
http://www.coremap.or.id/Kondisi-TK/  (accessed 18 Desember 2015) Indonesia. Jakarta. Indonesia.
Mining, Minerals, and Sustainable Development. 2002. Mining for the Future Appendix J: Grasberg Riverine Disposal Case Study. International Institute for Environment and Development and World Business Council for Sustainable   Development
Nontji. A. 2009. Rehabilitasi Ekosistem Lamun dalam Pengelolaan sumberdaya Pesisir. Lokakarya Nasional I Penelolaan ekosistem Lamun. Jakarta, 18 November 2009.    Purwadhi,    F.S.H.   2001. Interpretasi Citra Digital. PT Grasindo. Jakarta.
UNEP-IUCN-FAO, 2009. Blue Carbon-The role of Healthy Oceans in Binding Carbon. Report A new Rapid Response Assessment report released 14 October 2009 at the Diversitas Conference, Cape Town Conference Centre, South Africa.
Veron, J. E. N. 2002. “Reef Corals of the Raja Ampat Islands, Papua Province, Indonesia, Part I: Overview of Scleractinia.” In A Marine Rapid Assessment of the Raja Ampat Islands, Papua Province, Indonesia, edited by S. A. McKenna, G. R. Allen and S. Suryadi. Washington, DC: Conservation International
Walhi – Indonesian Forum for Environment. 2006. The Environmental Impacts of Freeport-Rio Tinto’s Copper and Gold Mining Operation in Papua. Walhi, Jakarta. 119 pp
Wilkinson, C. 2008. Status of Coral Reefs of the World: 2008. Townsville, Australia: Global Coral Reef Monitoring Network and Reef and Rainforest Research Centre.